pahlawan kesiangan
ahmad kholid
Senin, 12 Desember 2011
Senin, 05 Desember 2011
mudzakaroh
BAB
I
PENDAHULUAN
Definisi
Ushul
Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang global dan
tataca cara beristinbath dengannya dan keadaan untuk mendapatkan faedah.
Obyek
dalam pembahasan Ushul Fiqih yaitu dalil-dalil syara’ yang menyeluruh dan
sekiranya apa yang ditetapkan dengan dalil dari hukum yang menyeluruh.
Contoh :
-
Amr
-
Nahi
-
Am
-
Khash
Tujuan
mempelajari Ushul Fiqih
Tujuan
mempelajari Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya
terhadap dalil-dalil yang rinci untuk mendapatkan hukum syari’at Islam yang
diambil dari dalil-dalil tersebut.
BAB
III
DALIL-DALIL
SYAR’IYAH
Definisi Dalil
Dalil
menurut arti etimologi bahasa Arab ialah pedoman bagi apa saja yang kiusi
(material) yang ma’nawi (spritual) yang baik ataupun yang jelek.
Dalil-Dalil Syari’at Secara Global
Bahwa
dalil-dalil syari’ah yang diambil dari padanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal
berpangkal pada 4 pokok, yaitu :
-
Al-Qur’an
-
Sunnah
-
Al-Ijma’
-
Al-Qiyas
1.
Dalil Pertama Al-Qur’an
a.
Keistimewaannya
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan olehnya dengan
perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab dan makna benar. Diantara keistimewaan
Al-Qur’an adalah lafadz dan maknanya itu dari sisi Allah SWT. Yaitu :
-
Makna-makna
yang diilhamkan oleh Allah SWT kepada Rasulmnya.
-
Menafsiri
sebuah surat/ayat dengan lafadz sebagai sinonim lafadz. Lafadz Al-Qur’an yang
bisa memberikan makna seperti lafadz aslinya. Tidaklah kemudian lafadz-lafadz
sinonim itu termasuk Al-Qur’an.
-
Penerjemah
sebuah surat/ayat kedalam bahasa asing juga tidak dianggap sebagai Al-Qur’an.
-
Al-Qur’an
diturunkan secara teratur, yaitu dengan cara pemindahan dengan mandatangkan
pengetahuan dan kepastian dari kebenaran
riwayatnya.
b.
Kehujjahannya
Bahwa Al-Qur’an adalah hujjah atas umat manusia dan hukumnya adalah
undang-undang yang harus diikuti olehnya ialah bahwa Al-Qur’an itu diturunkan
di sisi Allah SWT dan disampaikannya kepada Umat Islam dari Allah SWT dengan
jalan yang pasti tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya.
-
Makna
I’jaz dan sendinya
I’jaz menurut bahasa Arab ialah menghubungkan sifat kelemahan dan
menetapkannya pada pihak lain.
1.
I’jaz
tidak akan terbukti dalam arti memantapkan adanya kelemahan bagi orang lain,
kecuakli adanya 3 hal :
a)
Tantangan
artinya menuntut tandingan dan perlawanan.
b)
Adanya
motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan-tantagan.
c)
Kehadirannya penghalang yang mencegah adanya tantangan di
bawah ini kami sebutkan beberapa ayat Al-Qur’an mengenai kebenaran hal
tersebut.
وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى
عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُـوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْ شُـهَدَائَكُمْ مِنْ دُوْنِ
اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَـلُوْا وَلَنْ تَفْعَـلُوْا فَاتَّقُوْا
النَّارَ الَّتِي وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ اُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ.
c.
Segi
Kemu’jizatannya
Dibawah ini kami sebutkan sebagian kemu’jizatan Al-Qur’an yang
telah dapat dicapai oleh akal .
1.
Keharmonisan
uslub bahasanya, maknanya, hukumnya dan teorinya.
2.
Persesuaian
ayat-ayatnya menurut teori-teori yang telah diungkapkan oleh ilmu pengetahuan.
3.
Memberitakan
hal-hal kejadian yang tidak diketahui, kecuali Allah Allah SWT, yang mana
mengetahui hal-hal yang ghaib.
4.
Kefasolan
lafadznya, kebalaghohan ungkapan bahasanya dan kekuatan pengaruhnya.
d.
Macam-Macam
Hukumnya
Hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Qur’an ada 3, yaitu :
1.
Hukum
Aqidah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap
mukallaf mengenai malaikatnya, kitabnya,
Rasulnya dan hari kemudian.
2.
Hukum-hukum
Allah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perluasan oleh
setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal
kehinaan.
3.
Hukum
Amalia yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus tindakan setiap mukallaf,
meliputi masalah ucapan, perbuatan, akad dan pembelajaran.
Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an
terdiri atas dua cabang hukum, yaitu :
1.
Hukum-hukum
ibadah yaitu, seperti : shalat, puasa,
zakat, haji, nadzar, sumpah.
2.
Hukum
muamalah, seperti : akal, pembelajaran, hukuman, jinayat, dll selain ibdah.
e.
Makna
(dalalah) ayat-ayat yang qath’i ataupun yang zhanni
Adapun nash-nash Al-Qur’an itu bila ditinjau dari aspek dalalahnya
atas hukum-hukum yang dikandungnya, maka dibagi menjadi 2, yaitu :
1)
Nash
yang qoth’i dalalahnya adalah nash yang menunjukkan kepada makna yang bisa
difahami secara tertentu.
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَاتَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُـنَّ وَلَدٌ
2)
Nash
yang zhanni dalalah ialah nash yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan
untuk ditakwirkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.
وَالْمُطَلَقَّـاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِـنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu tiga kali quru’).”
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَـيْتَةُ.
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah.”
2.
Dalil Kedua Al-Sunnah
Al-Sunnah ialah hal-hal yang dating dari Rasul SAW, baik berupa
ucapan, perbuatan dan pengakuan.
a.
Al-Sunnah
Qauliyah ialahg hadits-hadits Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai
tujuan dan persesuaian.
b.
Al-Sunnah
Fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW seperti shalat 5 waktu,
haji dll.
c.
Al-Sunnah
Taqririyah adalah perbuatan sebagian para sahabat yang telah diikrarkan oleh
Nabi SAW, baik perbuatan dala bentuk ucapan dan perbuatan.
A.
Kehujjahannya
Bukti-bukti kehujjahan Al-Sunnah adalah :
1.
Nash-nash
Al-Qur’an
2.
Ijma’
para sahabat r.a. semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya mengenai keharusan
mengikuti sunnah Nabi.
3.
Dalam
Al-Qur’an.
B.
Nisbahnya Kepada Al-Qur’an
Adapun hubungan Al-Sunnah kepada Al-Qur’an dari segi dijadikannya
kehujjahan, yaitu seorang mujtahid tidak akan kembaliikepada Al-Sunnah
ketika membahas suatu kejadian. Kecuali
apabila dia tidak mendapati dalam Al-Qur’an.
Sedangkan hubungan dari segi hukum yang dating di dalamnyan ada 3
hal, yaitu :
1.
Adakalanya
Al-Sunnah itu menetapkan atau menujukkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
2.
Adakalanya
Al-Qur’an itu merinci, menafsiri hal-hal yang datang di dalamnya Al-Qur’an
secara global atau membatasi hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara mutlak.
3.
Adakalanya
Al-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an.
C.
Pembagian Menurut Sanad (Perawi)
1.
Sunnah
Mutawatiroh
Sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang tidak mungkin
sepakat untuk berbuat bohong.
2.
Sunnah
Masyhuroh
Sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua atau kelompok sahabat
Rasul yang tidak sampai pada tingkat kelompok tawatur (perawi hadits mutawatir)
3.
Al-Sunnah
Ahad
Sunnah
yang diriwayatkan oleh satuan yang tidak sampai kepada tingkatan kelompok
tawatur.
3.
Dalil Ketiga Al-Ijma’
Ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahiin
diantara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Brasulullah SAW, atas
hukum syar’i mengenai suatu kejadian.
a.
Sendi-sendinya
Pertama : Adanya selalang para Mujtahid pada waktu
terjadinya sautu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali
dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan lainnya.
Kedua : Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam
atas suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa
memandang negeri mereka, kebangsaan atau kelompoknya.
Ketiga : Adanya kesepakatan mereka itu dengan
menampilkan pendapat masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian, baik
penampilan itu berbentuk ucapan maupun perbuatan.
Keempat : Dapat direalisis kesepakatan dari semua
mujtahid atas suatu hukum.
b.
Kehujjahan
Bukti
atas kehujjahannya adalah :
Pertama : Dalam Al-Qur’an. Allah SWT telah
memerintahkan taat kepada ulul amri diantara umat Islam sebagaimana perintah
kepada Mukminin menta’ati Allah SWT.
Lafadz Amriartinya ialah hal-hal atau keadaan, dan ia adalah
umum yang meliputi hal-hal duniawi, dan
Ulil amri. Duniawi ialah para Raja, pemimpin dan penguasa, sedangkan Ulil amri
agamawi para mujtahid dan ahli fatwa agama.
Kedua : Bahwasannya Ijma’ atas hukum syara’ itu harus
disandarkan kepada tempat bersandar syar’i , karena mujtahid Islam itu
mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.
c.
Macam-Macam
Ijma’
Pertama : Ijma’ shorikh sudut cara.
Yaitu
kesepakatan para mujtahid suatu masa
atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing
secara jelas dengan system fatwa. Artinya Mujntahid menyampaikan ucapan atau
perbuatan.
Kedua : Ijma’ Sukuti
Ialah
sebagian para Mujntahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara Qodhu
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa. Sedang mujtahid lain yang tidak
memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokan atau
perbedaannya.
Ijma’ Sukuti dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1)
Ijma’
shorikh
Ijma’
yang dijadikan hujjah syar’iyah menurut mazhab jumhur.
2)
Ijma’
I’tibari
Seorang
mujtahid yang diam tidak tentu setuju, maka tidak ada kepastian tentang adanya
kesepakatan dan terbentuknya Ijma’.
Adapun Ijma’ dari sudut bawah adalah :
1)
Qoth’i
dalalah atas hukum (yang dihasilkan)
Yaitu
Ijma’ shorikh, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan, dan tidak ada
jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
2)
Ijma’
yang dzanni dalalahnya atas suatu hukum yang dihasilkan, yaitu Ijma’ Sukuti
dengan artian bahwa hukumnya itu di dugaan menurut dugaan yang kuat dan tidak
bisa lepas yang didugakan hukum itu terlepas dari urusan Ijtihad.
ushul fiqih
Nama : Ahmad kholid
Nim/nimko :2010580101793
Program studi : pai
Materi : ushul fiqih
Semester : III
No. ujian :11030
Dosen : drs H fatihuddin munawwir MAG
1.apakah yang saudara ketauhi tentang pengertian ,obyek,tujuan serta manfaat mempelajari ushul fiqih ?
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
Ushul fiqh dapat didefinisikan dari dua sisi,
Pertama:
Ditinjau dari sisi kedua kata (yang menyusunnya), yaitu kata ushul dan kata fiqh.
Adapun ushul (أصول), merupakan jama’ dari ashl (أصل), yaitu apa-apa yang menjadi pondasi bagi yang lainnya. Oleh karena itu, ashl jidar (أصل الجدار) artinya pondasi dinding, dan ashl syajarah (أصالشجرة)artinya akar pohon. “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS Ibrahim : 24).Sementara fiqh, secara bahasa artinya pemahaman, berdasarkan firman Allah ta’ala, “dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka memahami perkataanku” (QS Thoha: 27-28)
Adapun ushul (أصول), merupakan jama’ dari ashl (أصل), yaitu apa-apa yang menjadi pondasi bagi yang lainnya. Oleh karena itu, ashl jidar (أصل الجدار) artinya pondasi dinding, dan ashl syajarah (أصالشجرة)artinya akar pohon. “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS Ibrahim : 24).Sementara fiqh, secara bahasa artinya pemahaman, berdasarkan firman Allah ta’ala, “dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka memahami perkataanku” (QS Thoha: 27-28)
Fiqh secara istilah artinya pengenalan terhadap hukum-hukum syar’i, yang sifatnya amaliyah, dengan dalil-dalilnya yang detail.
Maksud perkataan kami “pengenalan” yaitu secara ilmu (yakin) dan zhon (dugaan), karena pengenalan terhadap hukum-hukum fiqh terkadang menyakinkan dan terkadang bersifat dugaan sebagaimana yang terdapat di banyak masalah-masalah fiqh.
Maksud perkataan kami “hukum-hukum syar’i” yaitu hukum-hukum yang didatangkan oleh syari’at seperti wajib dan haram, maka tidak tercakup hukum-hukum akal (logika) seperti mengetahui bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sebagian, dan juga tidak mencakup hukum-hukum kebiasaan, seperti mengetahui bahwa gerimis biasanya akan turun di malam yang dingin jika cuacanya cerah. Maksud perkataan kami “amaliyah” adalah perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan keyakinan (akidah), contoh “amaliyah” tersebut yaitu sholat dan zakat, maka fiqh tidak mhmencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan seperti mentauhidkan Allah, ataupun mengenal nama dan sifat-Nya, yang demikian itu tidak dinamakan fiqh secara istilah.
Maksud perkataan kami “dengan dalil-dalilnya yang detail” adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang detail. Berbeda dengan ushul fiqh, karena pembahasan di dalam ushul fiqh tersebut hanyalah dalil-dalil yang global.
Kedua:
Ditinjau dari sisi nama untuk cabang ilmu tertentu, maka ushul fiqh tersebut didefinisikan:
“Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang global dan cara menggunakannya serta menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid)”
“Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang global dan cara menggunakannya serta menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid)”
Maksud perkataan kami “global” adalah kaidah-kaidah umum seperti perkataan “perintah menuntut kewajiban”, “larangan menuntut keharaman”, “benar berkonsekuensi terlaksana”. Ushul fiqh tidak membahas dalil-dalil yang detail, dan dalil-dalil yang detail tersebut tidak disebutkan di dalamnya melainkan sebagai contoh terhadap suatu kaidah (umum).
Maksud perkataan kami “dan cara menggunakannya” adalah mengenal cara menentukan hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya dari umum dan khusus, mutlak dan muqoyyad, nasikh dan mansukh, dan lain-lain. Dengan mengenal ushul fiqh maka dapat ditentukan hukum-hukum dari dalil-dalil fiqh.
Maksud perkataan kami “keadaan penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid, dinamakan penentu hukum karena dia dapat menentukan sendiri hukum-hukum dari dalil-dalilnya sehinggga sampai ke tingkatan ijtihad. Mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad serta hukumnya dan semisalnya dibahas di dalam ushul fiqh.
3.Objek Pembahasan Ushul Fiqh
Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek ushul fiqh mengenai metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua disiplin ilmu tersebut sama –sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.
Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
1. Hukum Syar’i
Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu (….) atau dengan kata lain memberi nilai terhadap sesuatu. (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah:
Artinya: Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.
Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
1. Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah. Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
3. Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
4. Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.
2. Hakim (Pembuat Hukum)
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:
Artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57).
3. Mahkum Fih (objek hukum)
Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah: objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya. Objek hukum yang menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf. Ia tidak membahas hukum wadh’i (perkondisian ) yang berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.
4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)
Mahkum alaih adalah subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif. Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.
4. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh.
Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih duluan dibukukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu adanya metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode ini tidak lain adalah ushul fiqh.
Pada masa rasul penggalian hukum langsung dilakukan oleh Rasul, yang mana Allah langsung memutuskan perkara-perkara yang timbul melalui wahyu. Penggalian hukum fiqh baru mulai setelah wafatnya Rasulullah SAW disaat timbulnya berbagai masalah yang tidak pernah terjadi pada masa Rasul. Para sahabat yang tergolong fuqaha seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tentunya di dalam berijtihad ini mereka mempunyai metode, dasar dan batasan dalam mengambil satu keputusan. Seperti Keputusan umar bin khattab tidak memebrikan hak zakat kepada mu’allaf. Ali bin abi Thalib menambah had (hukuman campuk) bagi yang meminum khamar dari 40 kali pada masa rasullah menjadi 80 kali. Dari perbuatan sahabat tersebut menunjukkan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan hukum. Ini menunjukkan ijtihad para sahabat itu mempunyai kaedah yang sekarang dikenal dengan ushul, walaupun pada waktu itu ilmu ini belum dikenal.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syarak semakin luas seiring dengan makin banyaknya permasalahan yang timbul. Karena banyaknya masalah yang timbul dan penyelesaian yang ditempuh para ulama sangan berfariasi, Ali Hasaballah mengambarkan kedahsyatan yang berlaku saat itu adalah “ pada satu daerah, ada satu perbuatan yang ditetapkan haram melakukannya, akan tetapi pada daerah lain dibolehkan”. Hal seperti menimbulkan kecauan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Dikarenakan tidak adanya parameter tertentu dalam mengistimbathkan hukum. Para ulama mengisthimbatkan hukum atas parameter masing-masing.
Akhirnya pada priode berikutnya, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum ini semakin banyak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan petunjuk tertentu dalam berijtihad. Seperti Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al Qur’an, hadist dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa yang diperselisihkan, dia bebas memilihnya. Manakala Imam Malik menjadikan amal ahlul madinah sebagai landasan hukum. Kedua imam ini telah menggariskan cara dan metode mereka dalam mengistimbathkan hukum tapi mereka belum menyebutnya dengan usul fiqh.
Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, yang bermaksud mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Mulailah ia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh dan petunjuk-petunjuk ilmu fiqh. Kitab ushul fiqh pertama sekali dikeluarkan adalah “al Risalah”. Inilah kitab pertama yang khusus berbicara tentang ushul fiqh dengan membahas berbagai metode istimbath hukum.
Dan dikemudian hari pengikut mazhab membuat metode ushul masing-masing mengikut imam Mazhabnya sendiri. Setiap kaedah selalu lahir/timbul lebih akhir dari pada materi.
Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek ushul fiqh mengenai metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua disiplin ilmu tersebut sama –sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.
Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
1. Hukum Syar’i
Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu (….) atau dengan kata lain memberi nilai terhadap sesuatu. (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah:
Artinya: Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.
Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
1. Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah. Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
3. Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
4. Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.
2. Hakim (Pembuat Hukum)
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:
Artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57).
3. Mahkum Fih (objek hukum)
Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah: objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya. Objek hukum yang menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf. Ia tidak membahas hukum wadh’i (perkondisian ) yang berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.
4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)
Mahkum alaih adalah subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif. Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.
4. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh.
Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih duluan dibukukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu adanya metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode ini tidak lain adalah ushul fiqh.
Pada masa rasul penggalian hukum langsung dilakukan oleh Rasul, yang mana Allah langsung memutuskan perkara-perkara yang timbul melalui wahyu. Penggalian hukum fiqh baru mulai setelah wafatnya Rasulullah SAW disaat timbulnya berbagai masalah yang tidak pernah terjadi pada masa Rasul. Para sahabat yang tergolong fuqaha seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tentunya di dalam berijtihad ini mereka mempunyai metode, dasar dan batasan dalam mengambil satu keputusan. Seperti Keputusan umar bin khattab tidak memebrikan hak zakat kepada mu’allaf. Ali bin abi Thalib menambah had (hukuman campuk) bagi yang meminum khamar dari 40 kali pada masa rasullah menjadi 80 kali. Dari perbuatan sahabat tersebut menunjukkan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan hukum. Ini menunjukkan ijtihad para sahabat itu mempunyai kaedah yang sekarang dikenal dengan ushul, walaupun pada waktu itu ilmu ini belum dikenal.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syarak semakin luas seiring dengan makin banyaknya permasalahan yang timbul. Karena banyaknya masalah yang timbul dan penyelesaian yang ditempuh para ulama sangan berfariasi, Ali Hasaballah mengambarkan kedahsyatan yang berlaku saat itu adalah “ pada satu daerah, ada satu perbuatan yang ditetapkan haram melakukannya, akan tetapi pada daerah lain dibolehkan”. Hal seperti menimbulkan kecauan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Dikarenakan tidak adanya parameter tertentu dalam mengistimbathkan hukum. Para ulama mengisthimbatkan hukum atas parameter masing-masing.
Akhirnya pada priode berikutnya, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum ini semakin banyak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan petunjuk tertentu dalam berijtihad. Seperti Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al Qur’an, hadist dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa yang diperselisihkan, dia bebas memilihnya. Manakala Imam Malik menjadikan amal ahlul madinah sebagai landasan hukum. Kedua imam ini telah menggariskan cara dan metode mereka dalam mengistimbathkan hukum tapi mereka belum menyebutnya dengan usul fiqh.
Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, yang bermaksud mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Mulailah ia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh dan petunjuk-petunjuk ilmu fiqh. Kitab ushul fiqh pertama sekali dikeluarkan adalah “al Risalah”. Inilah kitab pertama yang khusus berbicara tentang ushul fiqh dengan membahas berbagai metode istimbath hukum.
Dan dikemudian hari pengikut mazhab membuat metode ushul masing-masing mengikut imam Mazhabnya sendiri. Setiap kaedah selalu lahir/timbul lebih akhir dari pada materi.
manfaat mempelajari ilmu ushul fiqih adalah
- Dengan mengetahui ushul fiqih, kita akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di dalam al-qur’an, hadist rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat islam yang mulia ini
- Dengan ushul fiqih, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar, dimana banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun dengan cara yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan tidaklah cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga pemaknaan salah dan hukum yang diambil menjadi keliru. Seperti halnya mereka menghalalkan maulid nabi dengan dalil sunnahnya puasa senin, yang mana ini sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa itu adalah salah?? Yakni dengan mempelajari ushul fiqih.
- Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang tidak ada dalam masa nabi, terkadang kita bingung, apa hukum melaksanakan demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul fiqih,kita akan tahu dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum disebutkan di dalam al-qur’an dan hadits. Seperti halnya penggunaan komputer, microphone dll.
- Dalam ushul fiqih akan dipelajari mengenai kaidah-kaidah dalam berfatwa, syarat-syaratnya serta adab-adabnya. Sehingga fatwa yang diberikan sesuai dengan keadaan dari yang ditanyakan.
- Dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya.
- Ushul fiqih dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap para kiayi, ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqih seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui dalil-dalilnya.
- Ushul fiqih dapat menjaga aqidah islam dengan membantah syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang menyimpang. Sehingga ushul fiqih merupakan alat yang bermanfaat untuk membendung dan menangkal segala bentuk kesesatan.
- Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqih, hukum tersebut dapat diketahui.
- Dalam ushul fiqih, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi yang merujuk kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan terhindari dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut.
- Dengan ushul fiqih, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari agama islam.
Dengan berbagai manfaat yang akan kita dapatkan di atas, marilah kita bersama-sama mempelajari ilmu ushul fiqih ini.
2.apakah dalam era seperti ini,ilmu ushul fiqih masih diperlukan ?
Ilmu ushul fiqih diera sekarang ini sangat – sangat dibutuhkan.karena apa ?era sekarang ini adalah era(zaman) yang penuh dengan perselisihan dan perpecahan golongan.sehingga dalam membahas khukum biasanya melihat dari segi golongan, tak jarang juga mempertahankan pendapatnya meskipun sekiranya kurang benar bahkan salah.
Era (zaman ) ini penuh dengan kerusakan dan penyelewengan contoh syiah. Dengan mengetahui ushul fiqih, kita akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di dalam al-qur’an, hadist rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat islam yang mulia ini.
Dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya.
Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqih, hukum tersebut dapat diketahui.
Langganan:
Postingan (Atom)