Senin, 05 Desember 2011

mudzakaroh


BAB I
PENDAHULUAN

Definisi
Ushul Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang global dan tataca cara beristinbath dengannya dan keadaan untuk mendapatkan faedah.
Obyek dalam pembahasan Ushul Fiqih yaitu dalil-dalil syara’ yang menyeluruh dan sekiranya apa yang ditetapkan dengan dalil dari hukum yang menyeluruh.
Contoh :
-            Amr
-            Nahi
-            Am
-            Khash

Tujuan mempelajari Ushul Fiqih
Tujuan mempelajari Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk mendapatkan hukum syari’at Islam yang diambil dari  dalil-dalil tersebut.

BAB III
DALIL-DALIL SYAR’IYAH

Definisi Dalil
Dalil menurut arti etimologi bahasa Arab ialah pedoman bagi apa saja yang kiusi (material) yang ma’nawi (spritual) yang baik ataupun yang jelek.

Dalil-Dalil Syari’at Secara Global
Bahwa dalil-dalil syari’ah yang diambil dari padanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal berpangkal pada 4 pokok, yaitu :
-       Al-Qur’an
-       Sunnah
-       Al-Ijma’
-       Al-Qiyas
1.        Dalil Pertama Al-Qur’an
a.       Keistimewaannya
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan olehnya dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab  dan makna benar. Diantara keistimewaan Al-Qur’an adalah lafadz dan maknanya itu dari sisi Allah SWT. Yaitu :
-          Makna-makna yang diilhamkan oleh Allah SWT kepada Rasulmnya.
-          Menafsiri sebuah surat/ayat dengan lafadz sebagai sinonim lafadz. Lafadz Al-Qur’an yang bisa memberikan makna seperti lafadz aslinya. Tidaklah kemudian lafadz-lafadz sinonim itu termasuk  Al-Qur’an.
-          Penerjemah sebuah surat/ayat kedalam bahasa asing juga tidak dianggap sebagai Al-Qur’an.
-          Al-Qur’an diturunkan secara teratur, yaitu dengan cara pemindahan dengan mandatangkan pengetahuan dan kepastian  dari kebenaran riwayatnya.

b.      Kehujjahannya
Bahwa Al-Qur’an adalah hujjah atas umat manusia dan hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti olehnya ialah bahwa Al-Qur’an itu diturunkan di sisi Allah SWT dan disampaikannya kepada Umat Islam dari Allah SWT dengan jalan yang pasti tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya.
-            Makna I’jaz dan sendinya
I’jaz menurut bahasa Arab ialah menghubungkan sifat kelemahan dan menetapkannya pada pihak lain.
1.        I’jaz tidak akan terbukti dalam arti memantapkan adanya kelemahan bagi orang lain, kecuakli adanya 3 hal :
a)      Tantangan artinya menuntut tandingan dan perlawanan.
b)      Adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan-tantagan.
c)      Kehadirannya  penghalang yang mencegah adanya tantangan di bawah ini kami sebutkan beberapa ayat Al-Qur’an mengenai kebenaran hal tersebut.

وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُـوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْ شُـهَدَائَكُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَـلُوْا وَلَنْ تَفْعَـلُوْا فَاتَّقُوْا النَّارَ الَّتِي وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ اُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ.
c.       Segi Kemu’jizatannya
Dibawah ini kami sebutkan sebagian kemu’jizatan Al-Qur’an yang telah dapat dicapai oleh akal .
1.      Keharmonisan uslub bahasanya, maknanya, hukumnya dan teorinya.
2.      Persesuaian ayat-ayatnya menurut teori-teori yang telah diungkapkan  oleh ilmu pengetahuan.
3.      Memberitakan hal-hal kejadian yang tidak diketahui, kecuali Allah Allah SWT, yang mana mengetahui hal-hal yang ghaib.
4.      Kefasolan lafadznya, kebalaghohan ungkapan bahasanya dan kekuatan pengaruhnya.

d.      Macam-Macam Hukumnya
Hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Qur’an ada 3, yaitu :
1.      Hukum Aqidah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf  mengenai malaikatnya, kitabnya, Rasulnya  dan hari kemudian.
2.      Hukum-hukum Allah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perluasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan.
3.      Hukum Amalia yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus tindakan setiap mukallaf, meliputi masalah ucapan, perbuatan, akad dan pembelajaran.
Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri atas dua cabang hukum, yaitu :
1.         Hukum-hukum ibadah yaitu, seperti :  shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah.
2.         Hukum muamalah, seperti : akal, pembelajaran, hukuman, jinayat, dll selain ibdah.

e.       Makna (dalalah) ayat-ayat yang qath’i ataupun yang zhanni
Adapun nash-nash Al-Qur’an itu bila ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukum-hukum yang dikandungnya, maka dibagi menjadi 2, yaitu :
1)      Nash yang qoth’i dalalahnya adalah nash yang menunjukkan kepada makna yang bisa difahami secara tertentu.

وَلَكُمْ نِصْفُ مَاتَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُـنَّ وَلَدٌ

2)      Nash yang zhanni dalalah ialah nash yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwirkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.

وَالْمُطَلَقَّـاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِـنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَـيْتَةُ.
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah.”

2.        Dalil Kedua Al-Sunnah
Al-Sunnah ialah hal-hal yang dating dari Rasul SAW, baik berupa ucapan, perbuatan dan pengakuan.
a.         Al-Sunnah Qauliyah ialahg hadits-hadits Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persesuaian.
b.         Al-Sunnah Fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW seperti shalat 5 waktu, haji dll.
c.         Al-Sunnah Taqririyah adalah perbuatan sebagian para sahabat yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan dala bentuk ucapan dan perbuatan.

A.    Kehujjahannya
Bukti-bukti kehujjahan Al-Sunnah adalah :
1.      Nash-nash Al-Qur’an
2.      Ijma’ para sahabat r.a. semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya mengenai keharusan mengikuti sunnah Nabi.
3.      Dalam Al-Qur’an.

B.     Nisbahnya Kepada Al-Qur’an
Adapun hubungan Al-Sunnah kepada Al-Qur’an dari segi dijadikannya kehujjahan, yaitu seorang mujtahid tidak akan kembaliikepada Al-Sunnah ketika  membahas suatu kejadian. Kecuali apabila dia tidak mendapati dalam Al-Qur’an.
Sedangkan hubungan dari segi hukum yang dating di dalamnyan ada 3 hal, yaitu :
1.      Adakalanya Al-Sunnah itu menetapkan atau menujukkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
2.      Adakalanya Al-Qur’an itu merinci, menafsiri hal-hal yang datang di dalamnya Al-Qur’an secara global atau membatasi hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara mutlak.
3.      Adakalanya Al-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

C.    Pembagian Menurut Sanad (Perawi)
1.      Sunnah Mutawatiroh
Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang tidak mungkin sepakat untuk berbuat bohong.
2.      Sunnah Masyhuroh
Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua atau kelompok sahabat Rasul yang tidak sampai pada tingkat kelompok tawatur (perawi hadits mutawatir)
3.      Al-Sunnah Ahad
Sunnah yang diriwayatkan oleh satuan yang tidak sampai kepada tingkatan kelompok tawatur.

3.        Dalil Ketiga Al-Ijma’
Ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahiin diantara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Brasulullah SAW, atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian.
a.    Sendi-sendinya
Pertama           :    Adanya selalang para Mujtahid pada waktu terjadinya sautu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan lainnya.
Kedua             :    Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan atau kelompoknya.
Ketiga             :    Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu berbentuk ucapan maupun perbuatan.
Keempat         :    Dapat direalisis kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum.

b.    Kehujjahan
Bukti atas kehujjahannya adalah :
Pertama           :    Dalam Al-Qur’an. Allah SWT telah memerintahkan taat kepada ulul amri diantara umat Islam sebagaimana perintah kepada Mukminin  menta’ati Allah SWT.
Lafadz Amriartinya ialah hal-hal atau keadaan, dan ia adalah umum  yang meliputi hal-hal duniawi, dan Ulil amri. Duniawi ialah para Raja, pemimpin dan penguasa, sedangkan Ulil amri agamawi para mujtahid dan ahli fatwa agama.
Kedua             :    Bahwasannya Ijma’ atas hukum syara’ itu harus disandarkan kepada tempat bersandar syar’i , karena mujtahid Islam itu mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.

c.    Macam-Macam Ijma’
Pertama           :    Ijma’ shorikh sudut cara.
Yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa  atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas dengan system fatwa. Artinya Mujntahid menyampaikan ucapan atau perbuatan.

Kedua             :    Ijma’ Sukuti
Ialah sebagian para Mujntahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara Qodhu terhadap suatu peristiwa dengan fatwa. Sedang mujtahid lain yang tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokan atau perbedaannya.

Ijma’ Sukuti dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1)        Ijma’ shorikh
Ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyah menurut mazhab jumhur.
2)        Ijma’ I’tibari
Seorang mujtahid yang diam tidak tentu setuju, maka tidak ada kepastian tentang adanya kesepakatan dan terbentuknya Ijma’.
Adapun Ijma’ dari sudut bawah adalah :
1)      Qoth’i dalalah atas hukum (yang dihasilkan)
Yaitu Ijma’ shorikh, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan, dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
2)      Ijma’ yang dzanni dalalahnya atas suatu hukum yang dihasilkan, yaitu Ijma’ Sukuti dengan artian bahwa hukumnya itu di dugaan menurut dugaan yang kuat dan tidak bisa lepas yang didugakan hukum itu terlepas dari urusan Ijtihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar