BAB
I
PENDAHULUAN
Definisi
Ushul
Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang global dan
tataca cara beristinbath dengannya dan keadaan untuk mendapatkan faedah.
Obyek
dalam pembahasan Ushul Fiqih yaitu dalil-dalil syara’ yang menyeluruh dan
sekiranya apa yang ditetapkan dengan dalil dari hukum yang menyeluruh.
Contoh :
-
Amr
-
Nahi
-
Am
-
Khash
Tujuan
mempelajari Ushul Fiqih
Tujuan
mempelajari Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya
terhadap dalil-dalil yang rinci untuk mendapatkan hukum syari’at Islam yang
diambil dari dalil-dalil tersebut.
BAB
III
DALIL-DALIL
SYAR’IYAH
Definisi Dalil
Dalil
menurut arti etimologi bahasa Arab ialah pedoman bagi apa saja yang kiusi
(material) yang ma’nawi (spritual) yang baik ataupun yang jelek.
Dalil-Dalil Syari’at Secara Global
Bahwa
dalil-dalil syari’ah yang diambil dari padanya, hukum-hukum amaliyah berpangkal
berpangkal pada 4 pokok, yaitu :
-
Al-Qur’an
-
Sunnah
-
Al-Ijma’
-
Al-Qiyas
1.
Dalil Pertama Al-Qur’an
a.
Keistimewaannya
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan olehnya dengan
perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab dan makna benar. Diantara keistimewaan
Al-Qur’an adalah lafadz dan maknanya itu dari sisi Allah SWT. Yaitu :
-
Makna-makna
yang diilhamkan oleh Allah SWT kepada Rasulmnya.
-
Menafsiri
sebuah surat/ayat dengan lafadz sebagai sinonim lafadz. Lafadz Al-Qur’an yang
bisa memberikan makna seperti lafadz aslinya. Tidaklah kemudian lafadz-lafadz
sinonim itu termasuk Al-Qur’an.
-
Penerjemah
sebuah surat/ayat kedalam bahasa asing juga tidak dianggap sebagai Al-Qur’an.
-
Al-Qur’an
diturunkan secara teratur, yaitu dengan cara pemindahan dengan mandatangkan
pengetahuan dan kepastian dari kebenaran
riwayatnya.
b.
Kehujjahannya
Bahwa Al-Qur’an adalah hujjah atas umat manusia dan hukumnya adalah
undang-undang yang harus diikuti olehnya ialah bahwa Al-Qur’an itu diturunkan
di sisi Allah SWT dan disampaikannya kepada Umat Islam dari Allah SWT dengan
jalan yang pasti tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya.
-
Makna
I’jaz dan sendinya
I’jaz menurut bahasa Arab ialah menghubungkan sifat kelemahan dan
menetapkannya pada pihak lain.
1.
I’jaz
tidak akan terbukti dalam arti memantapkan adanya kelemahan bagi orang lain,
kecuakli adanya 3 hal :
a)
Tantangan
artinya menuntut tandingan dan perlawanan.
b)
Adanya
motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan-tantagan.
c)
Kehadirannya penghalang yang mencegah adanya tantangan di
bawah ini kami sebutkan beberapa ayat Al-Qur’an mengenai kebenaran hal
tersebut.
وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى
عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُـوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوْ شُـهَدَائَكُمْ مِنْ دُوْنِ
اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَـلُوْا وَلَنْ تَفْعَـلُوْا فَاتَّقُوْا
النَّارَ الَّتِي وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ اُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ.
c.
Segi
Kemu’jizatannya
Dibawah ini kami sebutkan sebagian kemu’jizatan Al-Qur’an yang
telah dapat dicapai oleh akal .
1.
Keharmonisan
uslub bahasanya, maknanya, hukumnya dan teorinya.
2.
Persesuaian
ayat-ayatnya menurut teori-teori yang telah diungkapkan oleh ilmu pengetahuan.
3.
Memberitakan
hal-hal kejadian yang tidak diketahui, kecuali Allah Allah SWT, yang mana
mengetahui hal-hal yang ghaib.
4.
Kefasolan
lafadznya, kebalaghohan ungkapan bahasanya dan kekuatan pengaruhnya.
d.
Macam-Macam
Hukumnya
Hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Qur’an ada 3, yaitu :
1.
Hukum
Aqidah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap
mukallaf mengenai malaikatnya, kitabnya,
Rasulnya dan hari kemudian.
2.
Hukum-hukum
Allah yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perluasan oleh
setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal
kehinaan.
3.
Hukum
Amalia yang bersangkut-paut dengan hal-hal yang harus tindakan setiap mukallaf,
meliputi masalah ucapan, perbuatan, akad dan pembelajaran.
Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an
terdiri atas dua cabang hukum, yaitu :
1.
Hukum-hukum
ibadah yaitu, seperti : shalat, puasa,
zakat, haji, nadzar, sumpah.
2.
Hukum
muamalah, seperti : akal, pembelajaran, hukuman, jinayat, dll selain ibdah.
e.
Makna
(dalalah) ayat-ayat yang qath’i ataupun yang zhanni
Adapun nash-nash Al-Qur’an itu bila ditinjau dari aspek dalalahnya
atas hukum-hukum yang dikandungnya, maka dibagi menjadi 2, yaitu :
1)
Nash
yang qoth’i dalalahnya adalah nash yang menunjukkan kepada makna yang bisa
difahami secara tertentu.
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَاتَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُـنَّ وَلَدٌ
2)
Nash
yang zhanni dalalah ialah nash yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan
untuk ditakwirkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.
وَالْمُطَلَقَّـاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِـنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu tiga kali quru’).”
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَـيْتَةُ.
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah.”
2.
Dalil Kedua Al-Sunnah
Al-Sunnah ialah hal-hal yang dating dari Rasul SAW, baik berupa
ucapan, perbuatan dan pengakuan.
a.
Al-Sunnah
Qauliyah ialahg hadits-hadits Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai
tujuan dan persesuaian.
b.
Al-Sunnah
Fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW seperti shalat 5 waktu,
haji dll.
c.
Al-Sunnah
Taqririyah adalah perbuatan sebagian para sahabat yang telah diikrarkan oleh
Nabi SAW, baik perbuatan dala bentuk ucapan dan perbuatan.
A.
Kehujjahannya
Bukti-bukti kehujjahan Al-Sunnah adalah :
1.
Nash-nash
Al-Qur’an
2.
Ijma’
para sahabat r.a. semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya mengenai keharusan
mengikuti sunnah Nabi.
3.
Dalam
Al-Qur’an.
B.
Nisbahnya Kepada Al-Qur’an
Adapun hubungan Al-Sunnah kepada Al-Qur’an dari segi dijadikannya
kehujjahan, yaitu seorang mujtahid tidak akan kembaliikepada Al-Sunnah
ketika membahas suatu kejadian. Kecuali
apabila dia tidak mendapati dalam Al-Qur’an.
Sedangkan hubungan dari segi hukum yang dating di dalamnyan ada 3
hal, yaitu :
1.
Adakalanya
Al-Sunnah itu menetapkan atau menujukkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
2.
Adakalanya
Al-Qur’an itu merinci, menafsiri hal-hal yang datang di dalamnya Al-Qur’an
secara global atau membatasi hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara mutlak.
3.
Adakalanya
Al-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an.
C.
Pembagian Menurut Sanad (Perawi)
1.
Sunnah
Mutawatiroh
Sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang tidak mungkin
sepakat untuk berbuat bohong.
2.
Sunnah
Masyhuroh
Sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua atau kelompok sahabat
Rasul yang tidak sampai pada tingkat kelompok tawatur (perawi hadits mutawatir)
3.
Al-Sunnah
Ahad
Sunnah
yang diriwayatkan oleh satuan yang tidak sampai kepada tingkatan kelompok
tawatur.
3.
Dalil Ketiga Al-Ijma’
Ijma’ menurut istilah ulama ushul ialah kesepakatan semua mujtahiin
diantara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Brasulullah SAW, atas
hukum syar’i mengenai suatu kejadian.
a.
Sendi-sendinya
Pertama : Adanya selalang para Mujtahid pada waktu
terjadinya sautu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali
dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan lainnya.
Kedua : Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam
atas suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa
memandang negeri mereka, kebangsaan atau kelompoknya.
Ketiga : Adanya kesepakatan mereka itu dengan
menampilkan pendapat masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian, baik
penampilan itu berbentuk ucapan maupun perbuatan.
Keempat : Dapat direalisis kesepakatan dari semua
mujtahid atas suatu hukum.
b.
Kehujjahan
Bukti
atas kehujjahannya adalah :
Pertama : Dalam Al-Qur’an. Allah SWT telah
memerintahkan taat kepada ulul amri diantara umat Islam sebagaimana perintah
kepada Mukminin menta’ati Allah SWT.
Lafadz Amriartinya ialah hal-hal atau keadaan, dan ia adalah
umum yang meliputi hal-hal duniawi, dan
Ulil amri. Duniawi ialah para Raja, pemimpin dan penguasa, sedangkan Ulil amri
agamawi para mujtahid dan ahli fatwa agama.
Kedua : Bahwasannya Ijma’ atas hukum syara’ itu harus
disandarkan kepada tempat bersandar syar’i , karena mujtahid Islam itu
mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.
c.
Macam-Macam
Ijma’
Pertama : Ijma’ shorikh sudut cara.
Yaitu
kesepakatan para mujtahid suatu masa
atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing
secara jelas dengan system fatwa. Artinya Mujntahid menyampaikan ucapan atau
perbuatan.
Kedua : Ijma’ Sukuti
Ialah
sebagian para Mujntahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara Qodhu
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa. Sedang mujtahid lain yang tidak
memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokan atau
perbedaannya.
Ijma’ Sukuti dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1)
Ijma’
shorikh
Ijma’
yang dijadikan hujjah syar’iyah menurut mazhab jumhur.
2)
Ijma’
I’tibari
Seorang
mujtahid yang diam tidak tentu setuju, maka tidak ada kepastian tentang adanya
kesepakatan dan terbentuknya Ijma’.
Adapun Ijma’ dari sudut bawah adalah :
1)
Qoth’i
dalalah atas hukum (yang dihasilkan)
Yaitu
Ijma’ shorikh, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan, dan tidak ada
jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
2)
Ijma’
yang dzanni dalalahnya atas suatu hukum yang dihasilkan, yaitu Ijma’ Sukuti
dengan artian bahwa hukumnya itu di dugaan menurut dugaan yang kuat dan tidak
bisa lepas yang didugakan hukum itu terlepas dari urusan Ijtihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar